Peradilan Ideal
5-11-11
Pendahuluan
Berbicara tentang peradilan tentu
kita telah ketahui bersama bahwa lembaga inilah yang menjadi ujung tombak dalam
penegakan hukum (law enforcement), dimana rakyat yang mencari keadilan dalam
permasalahan hukum yang dihadapi mencoba untuk membuktikan kebenaran
substantif mereka terhadap kasusnya.
Namun, melihat kondisi saat ini tentu apa yang seharusnya dilakukan oleh
lembaga peradilan (das sollen) tidak sesuai dengan apa kenyataannya (das sein)
dimana kita melihat terjadi perbedaan dalam putusan. Terkadang untuk kasus yang
sama putusan yang dikeluarkan oleh hakim sebagai pengadil berbeda. Sehingga
muncul stigma dalam masyarakat bahwa lembaga ini terjadi penyimpangan apakah
ada permainan
uang ataukah lain sebagainya mungkin kita kenal dengan istilah Mafia Peradilan
(judicial corruption)
Negara Indonesia didalam UUD 1945
pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa negara indonesia adalah negara hukum
(rechtsstate) nah disini bisa kita ambil kesimpulan bahwa lembaga peradilan
tentunya dan seyogyanya menjamin dan mempertahankan prinsip-prinsip negara
hukum yang Demokratis. Yakni tidak adanya warga negara yang berada diatas hukum
melainkan sama dimata hukum. Tapi, apakah telah terwujud? Kenyataannya tidak, meskipun telah dilakukan
judicial reform yakni reformasi peradilan.
Pembahasan
Berangkat dari pemahaman kita diatas sebelumnya
penulis akan mencoba untuk memberikan pemahan tentang apa sih peradilan itu??
Peradilan itu menyampaikan keputusan hukum yang
bersifat mengikat. Lembaga Peradilan bertugas menyelesaikan perselisihan
diantara anggota masyarakat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak
jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan seseorang
yang duduk dalam struktur pemerintahan; baik ia seorang penguasa atau pegawai
negeri,
Khalifah(pemimpin)
ataupun selain Khalifah(pemimpin).
Dalam proses peradilan tentu
tidak bisa lepas dari kaitan seorang pengadil yang kita kenal dengan sebutan HAKIM, banyak pendapat dalam kehidupan
masyarakat yang mengatakan baiknya suatu peradilan terlihat dari hasil Putusan
Hakim dimana jika putusan hakim sifatnya adil dan tidak berpihak maka
Peradilannya bersih dari Intervensi namun sebaliknya jika putusan hakim itu
berat sebelah berarti peradilannya ada permainan kotor. Olehnya itu, para
pemikir-pemikir hukum senantiasa membahas tentang pentingnya Reformasi
kebebasan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan analisis historis
konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan
dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan
pelaksanaan sistem politik. Kendati
konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi
penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi
maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian
kekuasaan kehakiman.
Berbagai peraturan perundangan yang
mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang
kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman.
Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi
dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya.
Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung
multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement ( penegakan ). Sementara mekanisme berbagai peraturan
perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur
tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh
kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya
ekonomi dan politik. Dalam rezim iu,
peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus menjalankan
direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sehinggga fungsi genuinnya tidak bisa
dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan
mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen
stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
Peradilan tidak punya kebebasan dan
kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal
institusional dan substantif. Dalam
masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika,
moralitas serta integritas dan kapabilitasa hakim dalam kekuasaan kehakiman
belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan
kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh
mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum
yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Kita ketahui bahwa tujuan utama
kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan
RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur
hukum. Reformasi dibidang kekuasaan
kehakiman ditujukan untuk :
pertama: menjadikan kekuasan
kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen
kedua : mengembalikan fungsi yang hakiki dari
kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum
ketiga :menjalankan
fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya
keempat: mendorong dan memfasilitasi serta
menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan
kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk
yang paling kongkrit.
Namun kembali saya sebagai penulis
ingin menyampaikan bahwa ini hanya tinggal sebuah cita-cita, kenapa? Realita
yang terjadi sangat bertentangan. Ini terlihat dari system yang dibangun, mulai
dari proses mencetak para penegak hukumnya (hakim) dalam seleksi penerimaan
calon hakim (cakim) yang menempatkan kepemilikan modal dan hubungan
kekeluargaan pada level utama bukannya melihat dari Integritas dan
Responsibility dari calon tersebut hingga penegakan dan dalam proses berkarir
seorang hakim.
Sungguh ironi, belum lagi ketidak
mampuan penegak hukum dalam memperkarakan seorang pemimpin dalam hal ini
Eksekutif. Dalam sistem peradilan saat ini, presiden, gubernur, dan para menteri tidak
dapat didakwa atas kekeliruan kebijakan mereka, selama kebijakan itu dianggap
berdasarkan undang-undang yang ada. Karena itu, masyarakat tidak dapat
mengajukan mereka ke muka pengadilan meski telah nyata-nyata melakukan sebuah
kebijakan yang keliru, meskipun Kebijakan itu dianggap benar
karena menurut peraturan. Maka, Presiden tidak dapat dituntut di
muka hakim, kecuali bila ada indikasi korupsi atau suap dalam pengambilan
keputusan
tersebut. Ini juga tidak mudah dibuktikan karena biasanya suap atau korupsi
seperti ini dilakukan dengan sangat rapi dan transaksinya dilakukan di
luar negeri.
Suatu
waktu sempat saya dan beberapa kawan-kawan melakukan kajian rutin yang diadakan
disekretariat Perhimpunan mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) cabang Makassar. Dalam
proses kajian itu sempat salah satu kawan menanyakan bahwa kenapa setiap kasus
yang masuk dalam peradilan tidak mampu diselesaikan dalam peradilan tingkat
pertama? Dan setiap melakukan banding bahkan kasasi tekadang putusan tiap
Hakim/pengadilan yang berbeda tingkatan tersebut berbeda putusannya? Bagi
penulis inilah kondisi peradilan saat ini yang memberikan peluang setiap orang
untuk melakukan upaya hukum dimana orang yang secara nyata bersalah dapat
dihukum ringan hingga dibebaskan. Inikah peradilan IDEAL??
Dalam
sistem Peradilan Islam, Tidak ada pengadilan banding tingkat pertama maupun
mahkamah banding tingkat kedua (kasasi). Seluruh bentuk pengadilan—dalam hal
memutuskan satu perselisihan— kedudukannya sama. Apabila seorang qadli (hakim)
memutuskan suatu perkara, keputusannya sah/berlaku. Qadli (hakim) lainnya tidak
dapat membatalkan keputusannya, kecuali putusannya di luar (system hukum)
Islam, atau bertentangan dengan nash yang pasti dari Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’
Shahabat, atau vonisnya bertentangan dengan hakekat permasalahannya kemudian
dalam peradilan Islam tidak ada seorang pun yang tidak bisa diajukan ke muka
pengadilan. Semua bisa, meski ia adalah seorang Khalifah ( Pemimpin ) atau
pejabat tinggi Negara, pengadilan ini disebut Qadli Madzalim yang berwenang
mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara. Qadhi
Madzalim
dari Mahkamah Madzalim akan menyidang kasus-kasus yang melibatkan
penguasa atas kekeliruan kebijakan yang mereka ambil. Qadhi Madzalim
juga berhak menghukum dan memberhentikan penguasa, yang tentunya pengadilan ini
berbeda dengan PTUN yang ada di Indonesia.
Kesimpulan
Peradilan
ideal tentunya adalah peradilan yang mampu memberikan keadilan dan mampu menyelesaikan berbagai
macam persoalan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan persoalan antara rakyat dan pejabat
Negara. Sebagaimana yang terdapat dalam al-qur’an . (TQS al-Maidah[5]: 49).
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
telah Allah turunkan”
dan dalam hadist “Jika
dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa
memutuskan perkara di antara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak
yang lain sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan
perkara di antara mereka itu”. (HR at-Tirmidzi dan Ahmad). bukan dengan
memihak dan memutus suatu perkara dengan menggunakan dasar hukum yang dibuat
oleh akal manusia (Undang-undang).
Serta penegak keadilannya yakni seorang hakim haruslah
Muslim, merdeka, balig, berakal sehat, adil, fakih/ahli fikih (menguasai berbagai
pengetahuan tentang hukum syariah), dan memahami aplikasi hukum terhadap
berbagai fakta, harus laki-laki dan seorang mujtahid karena jika tidak memiliki
ilmu dan pemahaman agama berdasarkan apa yang diturunkan Allah dalam dalil
al-qur’an dan as-sunnah dapat menyelesaikan perkara yang putusannya dzalim.
Semoga dengan adanya tulisan ini memberikan pemahaman
sedikit betapa pentingnya peradilan ideal itu dan hanya dengan system Islam(KHILAFAH)
dengan syariahnyalah yang dapat mewujudkan peradilan ideal itu. Allah lah yang
menciptakan manusia,alam dan kehidupan dan Allah pula yang menetapkan aturan
untuk ditaati maka selain dari aturan Allah berarti aturan itu adalah aturan
syaitan dan siapa saja yang mengikuti aturan syaitan berarti ia telah Kufur
bahkan kafir terhadap Allah yang tidak pantas untuk mendapatkan rahmat dan
keridhoan-NYA.
SUMBER
Al-qur’an
dan As-sunnah
Manifesto
Hizbut-tahrir untuk Indonesia
Peraturan
hidup dalam Islam ( syekh Taqiyuddin An-nabhani)
Struktur
Negara Khilafah
UUD NRI
1945
Undang-undang
tentang Kehakiman
Refleksi
Komisi Yudisial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar