Total Tayangan Halaman

Minggu, 06 November 2011

Menepis Pesimisme Perjuangan Khilafah
Senin, 04 Juli 2011 
Oleh: Ali Mustofa Akbar

MENARIK untuk menanggapi tulisan saudara Asrir Sutanmaradjo (AS) pada kolom tsaqafah hidayatullah.com (01/07/11), berjudul: “Khilafah; Antara Cita-cita dan Fakta”.
Sebagai sebuah khasanah jurnalistik, artikel tersebut layak untuk mendapat apreasiasi. Namun jika ditelisik dari sisi penjagaan pemikiran Islam, ada beberapa ulasan yang kiranya perlu dikritisi.

Petikan dari sebuah hadits riwayat Imam Ahmad: ”Tsuma takunu Khilafat[an] 'ala Minhajin nubuwwah.” Ini saja sudah cukup untuk menjawab pihak yang tak mengakui bahwa pernyataan khilafah ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Belum lagi ditambah nash-nash lain.
Pula halnya secara terminologis, dimaksud Imamah adalah khilafah, dan Imam adalah khalifah atau Amirul Mu’minin. Yang jelas begitu banyak pernyataan di dalam sumber hukum Islam tersebut. Dr. Dhiyauddin ar-Rays pun juga menyatakan dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah al-Hayatul Islamiyyah: “Perlu diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah Al-Kubra, dan Imarah Al-Mu’minin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.”

Di sini kapasitas kami tidak mengetahui saudara AS berada dipihak mana, namun kami berkhusnudzon bahwasanya beliau berada dipihak yang mengakui adanya pernyataan khilafah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab jika beliau berada di pihak seberang, maka itu menyerupai tipikal kaum sekularisme, pluralisme dan liberalisme (baca; Sepilis) yang mencoba menghadang tegaknya khilafah dengan dalih tersebut.

Selanjutnya saudara AS menyatakan bahwa sesungguhnya penerapan syari’at adalah suatu hal dan penegakkan khilafah adalah suatu hal lain.

Kami rasa ini aneh, padahal substansi khilafah adalah penerapan syariah Islam secara kaffah. Namun jika yang dimaksud penerapan sebagian dari syariah (setengah-setengah) adalah berbeda dengan penerapan syariah Islam secara kaffah, tentu ungkapan saudara AS itu benar. Memang berbeda.

Menyangkut konsep detail khilafah, mungkin ada ketidaksamaan dari para ulama, tetapi konsep-konsep dasar utamanya mengenai prinsip kedaulatan (as-siyadah), kekuasaan (al-sulthah), kesatuan kepemimpinan dan hak tabanni pada khalifah, pastilah sama meski dalam buku-buku itu dibahas dalam istilah yang berbeda-beda.
Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan adanya perbedaan konsep, apalagi dikhawatirkan bakal munculnya kekacauan atau perpecahan. Lagi pula, fakta sejarah menunjukkan, konsep khilafah itu bisa diterapkan dengan baik. Menurut para sejarahwan, paling sedikit selama 700 tahun dari era kejayaan Islam disebut sebagai the golden age. (Ismail Yusanto, majalah al-waie, 2008).

Bagaimanapun, sistem khilafah adalah sistem yang dijalankan oleh manusia, jika ada beberapa noktah hitam (seperti pertikaian, dsb) perjalanan akibat kesalahan manusianya bukan sistemnya. Kami kira saudara AS tau akan hal itu. Nilainya pun tidak seberapa dibanding noktah hitam sistem-sistem yang lain. Farid Wadjdi (Ilusi Negara demokrasi, 2009) menuturkan adanya noktah hitam tersebut bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum syara oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum syara' tersebut dilaksanakan atau tidak, kita juga tahu bahwa apa akibat kalau hukum-hukum syara' tersebut tidak dilaksanakan.

Padahal membeberkan noktah hitam sistem khilafah dengan tidak menyertakan kegemilangan peradaban Islam (khilafah) seperti pada artikel saudara AS, hanyalah akan menimbulkan keraguan ditengah-tengah masyarakat. Lagi-lagi kaum Sipilis yang tersenyum.

Terkait ungkapan KH Agus Salim, dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap beliau, tentu tidak ada yang tidak sepakat bahwa ungkapan itu bukanlah dalil syara’. Apalagi kita juga tidak tahu jika beliau merevisi pemikirannya sebelum akhir hayatnya, dengan belum adanya pubikasi. Seperti halnya Sayyid Qutb pun merevisi pemikirannya yang terdahulu setelah mendapat ma’lumat baru yang cemerlang.

Adanya Penolakan
Penolakan dari kaum Sepilis merupakan hal ini sangat wajar terjadi, sistem manapun pasti ada penolakan. Sebagai contoh, sistem demokrasi juga banyak kaum muslim yang menolak, namun juga mampu berdiri, awal berdirinya pun tanpa menanyai masyarakat apakah setuju atau tidak. Andai saja demokrasi bukan sistem kufur serta mampu menyejahterakan, tentu banyak yang kemudian mendukung.

Demikian halnya contoh sederhana lain, ketika pemilu presiden tahun 2009, presiden SBY menang dengan prosentase perolehan suara 60, 8 persen, sedangkan pasangan Mega-Prabowo 26, 7 persen, JK-Wiranto 12, 4 persen, semua itu diluar prosentase golput disengaja, alias berniat tidak memilih. Hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa hampir sebagian masyarakat tidak setuju dengan SBY. Meski begitu, SBY juga masih berkuasa. Dan jika saja SBY mampu menyejahterakan, lebih-lebih memberi kepuasan ideologis, tentu banyak yang kemudian berbondong-bondong mendukung SBY. Sebaliknya jika kepemimpinan SBY mendapat raport merah, dukungan kepadanya pun menurun drastis. Hasil survei yang dilakukan LSI pada 1-7 Juni 2011, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan SBY turun anjlok.

Karena itu, penolakan adalah bagian dari tantangan perjuangan yang seharusnya tak membuat pesimis. Jumlah sipilis aktif pun sejatinya juga tidak terlalu banyak. Meski sampai detik ini diantara mereka ada yang bebal ketika didakwahi , namun bukan hal yang mustahil kaum sipilis pun akan berbondong-bondong mendukung syariah Islam setelah dakwah efektif yang diselenggarakan negara khilafah, ditambah dengan tatanan kehidupan yang memberikan kesejahteraan lahir dan batin.

Berteriak-teriak?

Entah elemen umat Islam mana yang di tuding oleh saudara AS ini, sebab tidak ada satupun selama ini organisasi Islam yang menyatakan bahwa metode menegakkan khilafah adalah dengan berteriak-teriak dan “unjuk gigi” di televisi. Demikian halnya HTI yang disinggung saudara AS di awal artikel pun tidak menggunakan metode itu.

Setelah melalui pengkajian yang mendalam terhadap sirah Nabi Saw, HTI telah menemukan bagaimana metode menegakkan negara Islam sebagaimana metode Rasulullah Saw, pertama: Tatsqif (pembinaan), kedua: Tafa’ul ma’al ummah (interaksi dengan ummat), ketiga: Istilamul Hukmi (penerapan hukum) melalui thalabun nushrah (mendakwahi sekaligus meminta dukungan) para pemilik kekuatan riil di tengah masyarakat. Sedangkan acara seperti masirah, konferensi rajab yang di liput media adalah merupakan beberapa uslub saja dalam rangka memberikan penyadaran pada masyarakat, semuai itu bagian dari interaksi dengan umat. Masih banyak uslub-uslub lain, seperti berceramah di Masjid, mengadakan kajian di kantor-kantor, kontak tokoh (termasuk politisi, jenderal, pengacara, budayawan, dst)

Jika perjuangan ini dianalogikan seperti permainan sepak bola sebagaimana menurut uraian saudara AS, maka inilah urgensinya setiap elemen umat untuk diajak benar-benar bermain bola, patut disayangkan memang jika berniat main bola tapi justru bermain kasti atau badminton.

Nada pesimistis juga tidak seharusnya keluar dari ucapan kita. Di satu sisi wajar jika dalam benak belum ada gambaran bagaimana langkah taktis dalam meraih asa tersebut. Ibarat orang Solo yang hendak ke Jakarta tapi tidak tahu jalan yang harus dilewati.

Pertolongan Allah itu dekat. Dan perlu diingat, perjuangan penegakkan syariah dan khilafah bukan dalam lingkup mindset berfikir lokal keIndonesiaan. Artinya, khilafah Islam tidak harus mulai tegak dari Indonesia. Namun juga tak ada salahnya jika berharap negri ini yang menjadi titik awal berdirinya negara adi daya khilafah. “Perlawanan tak kenal padam”. Wallahu a’lam.

Penulis adalah aktivis HTI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar