BAB
I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Konsep
penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu
aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al
Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh)
dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna
direlevasikan dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena
terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun
undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang tidak jelas bunyi teks suatu
undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan beberapa
metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi.
Memperhatikan
jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan hukum dalam ilmu
hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq alhukm),
dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan hukum
dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan
metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan
oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan,
seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan dengan
metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul Fiqh.
Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan memahami
dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam yang
ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption).
Imam Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau
guru arsitek Ushul Fiqh dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya
karya pertamanya membahasa Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli
hukum dan para teorisasi yang muncul.
kemudian
Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakan oleh Imam Mujtahid (Abu
Hanifah 699-767 M, Malik bin Anas 714-795 M, Muhamad Idris Asy-Syafi‟i 767- 819
M, dan Ahmad bin Hanbal 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk menemukan
hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu negara.
Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Muhmood merupakan
asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya, yaitu
motode musawati mazhabib al-fiqh (equality of the schools of Islamic
law) istihsan (juristic equality), mashalih al-mursalah / istislahi (public
interest), siyasah syari‟ah (legislative equality) istidlal (juristic
reasioning), taudi‟ (legislation), tadwin (codivication) dan lain
sebaginya. Dikaitkan dengan penemuan hukum dan penerapan hukum oleh Juris Islam
(fuqaha‟) setidak-tidaknya mendasarkan kepada beberapa motode,
dintaranya motode penemuan hukum bayani, ta‟lili dan istislahi, yang bermuara
pada tolak ukur kemaslahatan agar keadilan dan kebenaran dapat dikembangkan
dari tiga motode tersebut yang tentunya tidak lepas dan kontradiksi denga garis
hukum yang telah dietapkan dalam Al Quran dan Hadis.
Oleh
karena itu di dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum oleh para pengali
hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode yang
telah disebutkan di atas. Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan
ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang
Ushul Fiqh dan Filsafat Hukum Islam. Dalam perkembangan berikutnya merupakan
kajian utama dalam metode penemuan hokum Islam.
Tujuan
penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan
pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran dan
Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan
dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul,
makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum bayani, talili
dan isislahi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Motode Penemuan Hukum Islam
Dalam
istilah ilmu Ushul Fiqh metode penemuan hukum dipakai dengan istilah “istinbath”.
Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III
dengan judul “Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul
Fiqh maka katakunci yang paling penting dalam mempelajari ilmu
tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara
mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan demikian metode penemuan hukum
merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang
mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan
kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah
Ushuliyah lainnya.
Ahli
Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya
harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.
a.
Kaidah syar‟iyyah.
Yang
dimaksud dengan kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟dalam
menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hokum (mukallaf).
Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan
dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
b.
Kaidah lughawiyah.
Kaidah
lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-nya
dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum. Kaidah
ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan
sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk
lafaz dan susunannya.
Dengan
demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum
Islam dari
dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh ketentuan
hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari
dalildalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan
dalam dalil Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan
memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar
belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan
ketentuan hukum. Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa
adalah harus memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa
Arab. Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan
bahasa tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan
tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap
orang yang ingin berijtihad.
Penemuan
hukum (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang
sangat luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),
ilmuwan / peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan
pengacara / advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.
Dalam
tulisan ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara penelitian
hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh semua
kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata mata
menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret,
tetapi
juga penciptaan
hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.
Metode Penemuan
Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi
Metode Bayani.
Dalam
perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin :
yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian
penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm)dan komunikasi
pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian
makna (al-tablig).11 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya
mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna „mengartikan‟, „menafsirkan‟ atau „menerjemah‟ dan juga bertindak
sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses
mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha
mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam
bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses
transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang
lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan
hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam
tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal
dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm
ta‟wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa
ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam
perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah „ilmu tafisr‟
ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana
padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan
interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah “tafsir”. Kata tafsir berasal
dari bahasa Arab ; fassara atau safara yang artinya
digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di
kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara
epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta‟wil (al-ta‟wil) sering
kali disinonimkan pengertiannya ke dalam „penafsiran‟ atau „penjelasan‟.
Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric
exegese), sedangkan al-ta‟wil lebih merupakan isnterprestasi
dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan
penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu
upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui
mediator, sedangkan ta‟wil kembali ke sumber atau sampai pada
tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan
gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.
Hermeneutika
yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginterpretasikan
(the art pf interpretation) „teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian
memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi
objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa : teks hukum,
peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno,
ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil
ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan
secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan
kontekstualisasi.
Secara
filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan
yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi
kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum
dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari
kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang
terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat
demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme
dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum
supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para
pengguna dan / atau para pencari keadilan.Relevansi dari kajian penemuan
hukum bayani mempunyai dua makn sekaligus :Pertama, metode bayani dapat
diahami sebagai metode interprestasi atas teks-tek hukumatau metode memahami
terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungandengan isi(kaidah hukumnya),
baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat
hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau
relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam
kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel
hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan
fakta-fakta.
Di
bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh
ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1.
Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum
mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari
dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada
tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang
antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling
tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut
“legitimasi” yang berkenan dengan pembenaran dari putusan yang sudah
dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan
argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran
yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum
tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh
legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan
tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum
tersebut agar putusan dapat diterima.
Disnilah
pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum.
Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undangundang dan
peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta
hukum dan pembentuk hukum.
2.
Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi.
Metode
penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undang-undang dan
peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari perencanaan,
perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu sarat
dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah meruapakan
ruh dari metode bayani.
3.
Ilmuwan hukum / Fuqaha.
Ilmuwan
/ fuqaha berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian hukum)
atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan kualitas
hukum. Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat
dikelompokkan ke dalam sebelas macam yaitu :
1.
Interprestasi
Gramatikal (menurut bahasa)
Penafsiran
kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-katanya
dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata dapat
mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata „musytarak‟
2.
Interprestasi
historis.
Setiap
ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harus menafsirkan
dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam konteks ini
dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan hukum
pembuat undang-undang (syari‟) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat menentukan.
Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechthistorisch)
adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks
seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan hukumnya.
Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam penafsiran hukum
Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.
3.
Interprestasi
sistematis.
Penafsiran
sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem, artinya
aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan
hadis, hadis dengan ayat, hadis dengan hadis
4.
Interprestasi
sosiologis atau teologis.
Secara
sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan
berdasarkan tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan
adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit)
dengan kenyataan hukum (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi
sosialogis dan teologis sangat penting. Sebagai contoh penerapan hukum yang
diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong tangan bagi pencuri, postif hukum
setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan hukum tidak dilaksanakan karena
situasi keadaan masyarakat.
5.
Interprestasi
komparatif.
Dimaksudkan
sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai
sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat
imam mazhab.
6.
Interperstasi
futuristik.
Disebut
juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan
hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum.,
karena peraturannya masih dalam rancangan.
7.
Interperstasi
restriktif.
Metode
interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh
mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari
perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk
tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi
restriktif.
8.
Interprestasi
ekstensif.
Metode
penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal,
seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh di tafisrkan
secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.
9.
Interprestasi
otentik atau secara resmi.
Dalam
jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara
lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam
undang-undang itu sendiri.
10. Interperstasi interdisipliner.
Bisa
dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum,
di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Sebagai
contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim dapat
menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hokum pidana,
administrasi negara dan perdata.
11. Interprestasi multidisipliner
Seorang
hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu
hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain
disiplin ilmu.
Metode Ta’lili
Sebelumnya
penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh membicarakan
masalah „illat ketika membahas qiyas (analogy). „Illah merupakan rukun
qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan „illatnya.
Setiap hukum ada „illat yang melatarbelakanginya. „Illat sebagian ulama
mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai
dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh
: „Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan
hukum. Orang yag mengakui adanya „illat dalam nash, berarti ia mengakui
adanya qiyas. Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3
golongan :
a.
Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki
„illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga
ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.
Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber‟illat,
kecuali ada dalil yang menentukan adanya „illat.
c. Golongan ketiga
ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak
adanya „illat hukum.
Dengan
semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya
tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak ketentuan
hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa
itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu,
ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang
dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim
ialah „illat hukum atau kausa hukum. Selama „illat hukum masih terlibat,
ketentuan hukum berlaku, sedang jika „illat hukum tidak tampak ketentuan
hukum pun tidak berlaku.
Dalam
perkembangan ilmu Hukum Islam, para fukaha melahirkan kaidah fiqh yang
mengatakan : “Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau
tidak adanya. Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentuan hukum
berkaitan denga „illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika „illat
ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun tidak ada.
Menentukan sesuatu sebagai „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya,
memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk
dapat menunjuk „illat hukum secara tepat. Mengenai adanya kaitan antara
„illat dan hukum, para fuqaha mazhab Syafii tidak dapat menerimanya sebab yang
sesunguhnya mengetahui „illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan
hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan hukum dengan „illat
yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa
yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan
„illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam
nash.
Dengan
mengetahui „illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat
dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terkadi
kemudian. „Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak
adanya hukum dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak
adanya „illat pada kasus tersebut. Sehingga „illat dirumuskan sebagai
suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir),
dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai
dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan
hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum,
dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat merupakan “tujuan yang
dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat
merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan
hukum. Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan „illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan
mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan,
atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith
atau tidak. Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat
dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya
hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan „illat.
Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan yang erat dalam
rangka penemuan hukum.
Berdasarkan
pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat dari
hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah
dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid
alsyari‟ at Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah
satu syarat diterimanya shifat menjadi „illat adalah bahwa shifat
tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga
sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam „illat menjadi maslahat
daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul
pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama
disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan
hukum melalui jalur qiyas.
„Illat
adalah hal yang oleh syari‟ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar,
tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. „Illat pada
pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya,
yaitu „illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh
dengan ijma‟ dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman
kepada nash). „Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi
menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam
nash yang disebut sharih, yang diperoleh hanya dengan isyarat,
yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya petunjuk„Illat
yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan
„illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran
kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata.
Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara,
yaitu :
1.
Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai
benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang
benar-benar sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim
ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai sebagai „illat hukum, dan sabr
adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan dirasakan sesuai sebagi
„illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan
sebagai „illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini merupakan
peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para mujtahid.
2.
Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji
„illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat
itu terhadap hokum bersangkutan. „Illat yang sesuai dengan ketentuan
hukum itu disebut al-„illah almunasibah. Al-„illah al-munasibah ada
empat macam, yaitu : „illat muatstsirah (membekas), „illat mula-imah (sejalan),
„illat gharibah (asing) dan „illat mursala (lepas, bebas).
di
bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu :
a.
al-„illah al-munasab.
„Illat yang
secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma‟ dan diketahui
membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang
ditetapkan atas anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di
bawah umur.
b.
„illat mula-imah.
„Illat
yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hokum karena
nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai „illatnya.
Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah yang
sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum
yang bersangkutan.
c.
„illat gharibah
„Illat
yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa „illat itu membekas pengaruhnya
terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan hukum
bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai
masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang
sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
d.„illat
mursalah
„Illat
yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa ajaran
Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik. Untuk
menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala pemikiran
tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam umumnya.
Oleh
karenanya „illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di dalamnya
terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi
bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya
hikmah.28 Hikmah itu bersifat implisit di dalam „illah dan tidak
terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada jika „illah tidak ada. Di
samping itu, „illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa adanya
hikmah, maka „illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum. Jika „illah
itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas, para ahli
Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan
mencoba menggali „illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit.
Sedangkan yang lainnya mengambil metode interprestasi nash sesuai dengan
akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat (social utility). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa „illah merupakan “sebab” atau “tujuan”
ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan
adakalanya tidak (muntanbathah).29
Metode Istislahi
Sebagaimana
halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan
metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran
dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada
tiga macam maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat
mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah
maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun
dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan
yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat
tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak
ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya. Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini
adalah istislahi.
Istislah
adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak
dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada
pemeliharaan al-mashlahat almursalat.
Pada
dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk
menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam
Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :
a.
Maslahat
tersebut bersifat reasonable (ma‟qul) dan relevan (munasib) dengan
kasus hukum yang ditetapkan.
b.
Maslahat
tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan
menghilangkan kesulitan (raf‟u al-haraj), dengan cara
menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
c.
Maslahat
tersebut harus sesuai dengan maksud disyari‟atkan hukum (maqashid
alsyari‟at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.
Sementara
itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat di jadikan
sebagai penemuan hukum.
1.
Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa
untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus
diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok
maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
2.
Kemaslahatan itu bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan maslahat
tersebut bena-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan
pada dugaan (zhan) sematamata.
3.
Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku
secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat
itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah
bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid alsyari‟at.
Berdasarkan
ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan
hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan
tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan
segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi
suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada
pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan
syari‟at dan tidak ada „illat yang keluar dari syara‟ yang menentukan kejelasan
hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum
syara‟, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan
atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan
istislahi. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang
ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa
hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara‟. Proses seperti itu
disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).
Walaupun
para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya adalah satu,
yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun tidak
terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya. Sedangkan
menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal
(mencari dalil) dari nash syara‟ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap
nash syara‟, tetapi ia tidak keluar dari nash syara‟. Menurut pandangannya, ia
merupakan hujjah qathi‟iyyat selama mengandung arti pemeliharaan
maskud syara‟, walaupun dalam penetapannya zhani.
Secara
ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu
difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al
Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya
melalui suatu i‟tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak
didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan
kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan
Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga.
Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan
atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah
kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa istislah merupakan cara penemuan hukum yang berdiri
sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan
kaidah ra alharjwa al-masyaqqat.
ANALISA
Konsep
penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hokum terbuka,
yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun
tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang
ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai
kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum
masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode penemuan
hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini ternyata
menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang
pada bunyi teks. Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi
Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam
menjawab berbagai problema yang timbul dalam masyarakat. Tidak heran
teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu
pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya.
Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan
fiqh merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah
dan mu‟amalahnya.
Penerapan
sebuah hukum harus didahului dengan aktifitas penemuan hokum yang lazim
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh para penegak hukum dan fuqahak
dalam proses menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan
hokum merupakan upaya bahwa seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu
peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya harus pula dilakukan melalui
ijtihad sehingga hukumnya ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum
atas peristiwa tersebut.
Penemuan
hukum dapat saja dilakukan oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh hakim
adalah hukum. Ilmuwan hukum yang mengadakan penmuan hukum, baik melalui penelitian,
maupun hasil pemikirannya dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika diambil
oleh hakim maka akan menjadi hukum. Aturan hukum yang bersifat normatif
kadang-kadang kurang jelas, rinci dan lengkap, sedangkan fakta dan
peristiwa selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini diperlukan
penyelesaian menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis yang
kadang-kadang hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau
aturan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin
menduga peristiwa yang akan terjadi ke depan walaupun teks undang-undang
jelas tentu masih membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan
kebutuhan zaman tentu dengan tetap mengacu pada aturan yang sudah
digariskan dalam teks. Hukum itu ada, akan tetapi harus ditemukan, hakim
tidak semata-mata menerapkan hukum, akan tetapi menemukan hukum. Kegiatan
penemuan hokum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah
sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu.
Hal
demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab
permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu
sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa.
Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas,
melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup
tujuan manifest dan tujuan laten. Penemuan hokum dengan metode ta‟lili
yang merupakan sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar
untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukumnya.
Mendasarkan
hukum kepada „illat diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang Al
Quran dan As Sunnah memberikan petunjuk bahwa „illat hukum adalah sifat
tertentu, maka sifat itu merupakan „illat berdasarkan nash, sehingga
pada dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hokum itu dapat dipecahkan
berdasarkan „illat hukum. Sedangkan penemuan hukum istislahi dimaksudkan
untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasikannya sehingga mampu
menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan
demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan suatu jalan keluar
dari kekakuan hukum.
BAB III
PENUTUP
Dari
uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Metode
penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan
hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik)
maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
2. Dalam
perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan, ta‟lili dan istislahi.
3. Metode
penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman terhadap
teks.
4. Metode
penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan „illat-
„illat dalam
suatu masalah.
5. Metode
penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus,6 by. Saefullah
Ma‟shum, Jakarta, 2000.
Al-Ghazali, al-Mustahasfa
min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.
Al-Syatibi, Al-Muwafakat
fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.
Al-Rabi‟ah,
Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al Ihtijaj
Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M.
Ad-Dawaalibi,
Muhammad Makruf, Al Madkhal Ilaa „Im Ushuul al-Faqh, 1959.
Basyir, Ahmad
Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984.
Djamil,
Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.
Djazuli, A, Ilmu
Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi,
Prebada Media, Jakarta, 2005.
Mahmood, Tahir, Personal
Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis), New Delhi
For the Academi of law and Religion, 1987.
Rahman, Asjmuni
A., Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2004.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika
Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, UII Pres,
Yogyakata, 2004.
Khallaf, Abdul
Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat
al- Islamiyyyat, Jakarta, 1972.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar