Pembunuhan dengan sengaja dalam Fiqih Jinayah
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama
dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan
manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan.
Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib
mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga
mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan
yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang
kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam
fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal
yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka
dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir
“Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan
atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan
kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
B.
Batasan Masalah
Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu
adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah
apa pembunuhan yang di sengajadan akibat yang di timbulkan dari pembunuhan
dalam pidana islam.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui
pengertian pembunuhan yang disengaja,k;asifikasi yang termasuk pembunuhan yang
di sengaja dan akibat yang di timbulkan dari pembunuhan.
PEMBAHASAN
A.pengertian
pembunuhan
Telah
dijelaskan pada beberapa edisi terdahulu, pembunuhan terbagi menjadi tiga
jenis: sengaja, mirip dengan sengaja, dan tidak sengaja. Sebagai kelanjutannya,
kami paparkan permasalahan “pembunuhan dengan sengaja” dalam rubrik fikih ini.
Definisi
Pembunuhan Dengan sengaja (Qatlu al-‘Amd)
Pembunuhan
dengan sengaja, dalam bahasa Arab, disebut “qatlu al-‘amd”. Secara etimologi
bahasa Arab, kata qatlu al-‘amd tersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan
al-‘amd. Kata “al-qatlu” artinya “perbuatan yang dapat menghilangkan jiwa”, sedangkan kata “al-‘amd” artinya “sengaja dan
berniat”. Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja di sini adalah seorang
mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya,
dengan cara dan alat yang biasanya dapat
membunuh.
membunuh.
B.Rukun
Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari
definisi di atas, jelaslah bahwa pembunuhan dengan sengaja memiliki rukun dan
syarat, di antaranya:
1.
Korban terbunuh. Apabila seseorang sengaja membunuh korban dengan senjata yang
bisa membunuh, seperti kapak atau sejenisnya, namun korbannya selamat dan dapat
disembuhkan, maka ini tidak termasuk pembunuhan dengan sengaja. Korban
terbunuh ini memiliki dua syarat:
a.
Bani adam (manusia). Apabila korban yang terbunuh bukan manusia, tentulah tidak
dikatakan pembunuhan dengan sengaja.
b.
Terjaga darahnya (ma’shum ad-dam). Hal ini mencakup semua jiwa yang mendapatkan
perlindungan negara Islam, seperti kaum muslimin, dzimi (ahli dzimah), orang
kafir yang di bawah perjanjian (al-mu’ahad), dan orang kafir yang meminta perlindungan
(al-musta’min). Dengan demikian, seseorang dihukumi membunuh dengan sengaja,
apabila ia mengetahui bahwa orang yang ia inginkan untuk terbunuh adalah
manusia dan terlindungi jiwanya menurut syariat Islam.
2.
Kesengajaan membunuh korban atau keinginan dari pembunuh untuk membunuh korban.
Hal ini mencakup dua keinginan, yaitu kesengajaan membunuh (qashdu al-jinayat)
dan sengaja menjadikan pihak terbunuh sebagai korban (qashdu al-majni ‘alaih).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Dua jenis kesengajaan ini harus
terpenuhi.Sseandainya tidak ada niat untuk membunuh dengan menggerakkan
senjata, lalu senjatanya terlempar (tidak sengaja) dan membunuh orang, maka hal
ini tidak dikatakan membunuh dengan sengaja, karena si pelaku pembunuhan tidak
berniat membunuh. Juga, seandainya ia sengaja menembak sesuatu dan ternyata
yang ditembak itu adalah seorang manusia, maka ini pun bukan kesengajaan,
karena si pelaku pembunuhan tidak sengaja (dan terencana) membunuh orang yang
terlindungi darahnya tersebut.
3.
Alat yang digunakan adalah alat yang bisa membunuh, baik senjata tajam atau
yang lainnya. Ini termasuk rukun pembunuhan dengan sengaja yang terpenting. Hal
ini karena syarat kesengajaan membunuh adalah perkara batin yang tidak mudah
dibuktikan. Oleh karena itu, penetapan hukumnya dikembalikan kepada alat yang
digunakan, karena itu merupakan perkara yang nyata.
Apabila
rukun-rukun ini tidak ada salah satunya, maka pembunuhan tersebut tidak
dihukumi sebagai pembunuhan yang disengaja.
C.Klasifikasi
Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari
definisi pembunuhan dengan sengaja di atas, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan
dengan sengaja terbagi dalam dua jenis.
Jenis
pertama, membunuh dirinya sendiri (bunuh diri).
Jiwa
manusia bukanlah miliknya pribadi, namun masih milik penciptanya. Jiwa adalah
amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, membunuh diri sendiri
atau merusaknya tanpa ada maslahat syar‘i adalah tindakan terlarang. Begitu
juga, seseorang tidak boleh beraktifitas dengan anggota tubuhnya kecuali
aktifitas yang mendatangkan kemanfaatan. Karena itulah, Allah menjadikan
perbuatan bunuh diri termasuk dosa besar, sebab ada pelanggaran amanah serta
sikap tidak ridha dengan ketetapan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbuatan ini dilarang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن
تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ
إِنَّ
اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka-sama-suka di antara kamu. Serta, janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs.
an-Nisa`: 29)
Demikian
juga, bunuh diri dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَدَّى
مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا
فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ
فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا
فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ
فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا
مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa
yang bunuh diri dengan terjun dari atas bukit, maka ia berada di neraka jahanam
dalam keadaan terjun, dan itu kekal selamanya. Barangsiapa yang bunuh diri
dengan menenggak racun dan mati dalam keadaan racunnya ada di tangannya, maka
ia akan menenggaknya di neraka jahanam selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh
diri dengan besi, lalu besinya tersebut ada di tangannya, maka ia kan
menusuk-nusuk perutnya dengan besi di neraka jahanam selama-lamanya.” (Hr. al-Bukhari, no. 5333)
Jenis
kedua, membunuh orang lain.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas melarang membunuh jiwa manusia dengan
sengaja, dan mengancam pelakunya dengan ancaman yang berat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يَقْتُلْ
مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ
وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta
menyediakan azab yang besar baginya.”
(Qs. an-Nisa`: 93)
Bentuk
Pembunuhan yang Disengaja
Pembunuhan
dengan sengaja memiliki beragam bentuk yang ada dalam realita, di antaranya:
- Membunuh dengan senjata tajam
(al-muhaddad), yaitu dengan cara melukai tubuh dengan senjata tajam,
seperti pisau, senapan, tombak, lembing, dan jenis senjata tajam lainnya.
Ini disepakati para ulama sebagai salah satu jenis pembunuhan dengan
sengaja.
- Membunuh dengan senjata tumpul,
atau senjata yang membunuh karena beratnya atau pengaruhnya di tubuh
(al-mutsaqqal), seperti dengan cara memukulkan batu besar dan sejenisnya.
Apabila batunya kecil, maka bukan termasuk pembunuhan dengan sengaja,
kecuali bila dipukulkan kebagian anggota tubuh yang mematikan, atau dalam
keadaan lemahnya korban seperti sakit, kecil, dan sejenisnya, atau
memukulnya dengan berulang-ulang hingga mati. Termasuk juga pembunuhan
dengan al-mutsaqqal adalah menimpakan tembok ke orang lain dan menabrakkan
mobil ke tubuh korban.
- Melemparkan korban ke tempat
berbahaya yang dapat membunuhnya, seperti melemparkannya ke dalam kandang
singa atau dikurung bersama ular berbisa yang membunuhnya. Apabila sengaja
melemparkannya ke tempat-tempat yang mematikan tersebut, maka ia telah
sengaja membunuh korban dengan sesuatu yang umumnya bisa membunuh.
- Melempar korban ke dalam api atau
air yang menenggelamkannya, dan si korban tidak mungkin selamat darinya.
- Mencekiknya dengan tali atau
sejenisnya, atau membekap mulut dan hidungnya hingga mati dengan sebab
itu.
- Memenjarakannya dan tidak memberi
makan dan minum hingga si korban mati dengan sebab itu, dalam waktu yang
umumnya orang akan mati kelaparan, serta si korban tidak bisa mencari
makanan dan minuman.
- Membunuhnya dengan sihir (santet).
- Membunuhnya dengan racun. Ini
memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
a. Memberi racun dengan paksa hingga mati.
b.
Mencampuri makanan dan minumannya dengan racun, lalu menyajikannya kepada
korban, kemudian korban meminumnya dalam keadaan tidak tahu bahwa di dalamnya
terkandung racun.
- Membunuh korban secara tidak
langsung. Hal ini dapat digambarkan dalam beberapa bentuk:
- a. Memberikan kesaksian yang
membuat korban dibunuh, seperti berzina atau murtad, lalu korban itu
dibunuh. Setelah terbunuh, saksi tersebut menarik kembali persaksiannya
dan mengatakan bahwa ia sengaja melakukan persaksian dusta tersebut untuk
membunuh korban.
b.
Memaksanya untuk bunuh diri.
c.
Menyuruh orang lain untuk membunuhnya.
Demikianlah
beberapa jenis bentuk pembunuhan dengan sengaja yang disampaikan para ulama
dari hasil penelitian mereka.
Akibat
Pembunuhan Dengan Sengaja
Pembunuhan
dengan sengaja memiliki konsekuensi yang melibatkan tiga hak: hak Allah, hak
wali korban, dan hak korban sendiri. Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan, “Yang
benar adalah bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hal Allah, hak
korban (al-maqtul), dan hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul).
Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya
dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka gugurlah hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tobat tersebut, dan hak auliya` a1-maqtul
gugur dengan ditunaikannya qisas secara sempurna, melalui perdamaian, atau
pembunuh dimaafkan. Namun, masih tersisa hak korban. Karenanya, Allah yang akan
menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat dan Allah akan memperbaiki
hubungan keduanya.” [8]
Hal-hak
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
hak Allah. Pembunuhan dengan sengaja berhubungan langsung dengan hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena telah melanggar larangan Allah yang ada dalam
firman-Nya,
وَمَن يَقْتُلْ
مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta
menyediakan azab yang besar baginya.”
(Qa. an-Nisa`: 93)
Dalam
ayat yang mulia ini, Allah mengancam keras pelaku pembunuhan dengan sengaja,
sampai-sampai karena besarnya dosa pembunuhan ini, Allah tidak mensyariatkan
adanya kafarat.
Sedangkan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan besarnya dosa
pembunuhan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
“Lenyapnya
dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang muslim.” (Hr. at-Tirmidzi dan an-Nasa`i; dinilai shahih oleh
al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2438).
Larangan
ini tidak hanya berlaku pada jiwa muslim, namun juga pada semua jiwa yang dilindungi
dalam syariat Islam, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabdanya,
من قتل معاهداً
لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barangsiapa
yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka
dia tidak akan mencium wangi surga. Sungguh, wangi surga itu tercium sejauh
jarak empat puluh tahun.” (Hr. al-Bukhari)
Bahkan,
perkara ini menjadi perkara awal yang dihisab di antara manusia di hari kiamat,
seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أول ما يقضى بين
الناس يوم القيامة في الدماء
”Perkara
pertama yang akan diperhitungkan di antara manusia pada hari kiamat adalah
permasalahan darah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan,
Allah menjadikan pembunuhan satu jiwa bagaikan membunuh seluruh manusia, dan
menghidupkan satu jiwa bagaikan menghidupkan seluruh manusia, seperti dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مِنْ أَجْلِ
ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن
قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ
فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً
“Oleh
karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia, seluruhnya. Juga, barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia,
seluruhnya.” (Qs. al-Ma`idah: 32)
Hak
ini tidak gugur kecuali dengan tobat yang benar dari pembunuh, dan tidak cukup
hanya dengan menyerahkan diri kepada wali korban.
Kedua,
hak korban. Hak ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang, dan
pembunuh telah dihukum. Korban akan meminta haknya di hari kiamat nanti dari
pembunuhnya. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat), atau
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keutamaan dan kemurahan-Nya yang akan
menanggungnya? Yang benar, sebagaimana dirajihkan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dan
Ibnu Utsaimin [9], adalah Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari
hamba-Nya yang bertobat, dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya .
Ketiga,
hak wali korban. Keluarga korban yang mencakup seluruh ahli warisnya memiliki
hak atas pelaku pembunuhan, dengan diminta memilih tiga pilihan:
Pilihan
pertama, qisas, yaitu dengan dilakukannya hukuman pancung kepada pelaku
pembunuhan, yang hukuman ini dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berdasarkan
pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….”
(Qs. al-Baqarah: 178)
Dianjurkan
bagi para ahli waris korban untuk mengampuni pelaku dari qisas, apabila pelaku
tidak dikenal sebagai orang jelek, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
“Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf, dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu, dan merupakan suatu rahmat.” (Qs. al-Baqarah: 178)
Apabila
seluruh ahli waris atau seseorang dari mereka memaafkan si pembunuh qisas maka
gugurlah qisas bagi si pembunuh, dan si pembunuh wajib menunaikan pilihan
kedua, yaitu diyat.
Pilihan
kedua, membayar diyat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
وَمَنْ قُتِلَ
لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ
يُقْتَلَ
“Barangsiapa
yang menjadi wali korban pembunuhan, maka ia diberi dua pilihan: memilih diyat
atau qisas.” (Hr. Muslim, no.
3371)
Pilihan
ketiga, memberikan ampunan tanpa bayaran. Para ahli waris korban memiliki hak
untuk mengampuni pelaku dengan tidak meminta qisas maupun diyat. Apabila
sebagian ahli waris memberikan ampunan ini, maka gugurlah bagiannya dari diyat
dan pelaku hanya membayar bagian diyat untuk ahli waris korban yang tidak
memaafkannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَن تَصَدَّقَ
بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ
“Barangsiapa
yang melepaskan (hak qisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya.” (Qs. al-Ma`idah: 45)
Demikianlah,
sebagian hukum berkenaan dengan pembunuhan dengan sengaja, dan insya Allah akan
dilanjutkan dengan pembunuhan yang mirip dengan sengaja dan pembunuhan tidak
sengaja. Mudah-mudahan bermanfaat.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Begitulah serba sedikit penjelasan tentang hukuman
bunuh menurut Islam yang dapat diterangkan di dalam ruang yang serba terbatas
ini. Melihat kepada kadar jinayah yang semakin meningkat di negara ini, dari
satu sudut kita memanglah mengharapkan si pembunuh ditangkap dan dibicarakan
segera. Namun, dari sudut yang lain, kita sesungguhnya tidak menginginkan
penjenayah ini ‘diadili’ oleh hukum kufur kerana sememangya tidak akan ada
keadilan di dalamnya kerana sesungguhnya kita yakin bahawa keadilan itu hanya
akan dapat dicapai jika hukum Islam dilaksanakan. Kita juga yakin bahawa selagi
hukum kufur ini terus membelenggu kita, maka kes-kes pembunuhan kejam seperti
ini tidak akan dapat dihindari. Justeru, tidak ada lagi jalan untuk keluar dari
keadaan yang amat buruk ini kecuali kita berusaha untuk menegakkan.manusia akan
benar-benar mendapat keadilan dan dunia ini akan berada dalam kesejahteraan dan
kerahmatan kerana di kala itu hukum Allah menjadi hukum yang menaungi kita
semua.
Referensi:
1.
Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, Subul as-Salam al-Mushilah ila Bulugh
al-Maram, tahqiq.Muhammad Shubhi Hasan Halaf, cetakan kedelapan, tahun 1428 H,
Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 7: 231.
2.
Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’,
cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5.
3.
Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Tashil al-Ilmam bi Fiqhi al-Ahadits Min Bulugh
al-Maram, cetakan pertama, tahun 1427 H, tanpa penerbit, 5/117.
4.
Shalih bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan pertama, tahun
1423 H, Ri`asah Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA, 2/461.
5.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah.
6.
Tuhfat al-Labib fi Syarhi at-Taqrib.
7.
Dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar