Asas Daluwarsa memang dikenal dalam hukum, baik dalam teori maupun dalam praktek.
Adapun pengertian dari daluwarsa adalah dengan adanya lewat waktu -waktu mana ditetapkan oleh undang-undang- maka penyidik jaksa kehilangan hak untuk menuntut suatu perkara pidana.
Mengenai jangka waktu daluwarsa telah ditetapkan dalam Pasal 78 KUHP dengan kateori sebagai berikut:
(-) Untuk pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak, jangka waktu daluwarsa adalah satu tahun, lewat satu tahun Jaksa kehilangan hak menuntut.
(-) Untuk kejahatan yang ancaman pidananya dibawah 3 tahun, jangka waktu daluwarsa adalah enam tahun.
(-) Untuk kejahatan yang ancaman kejahatannya diancam diatas tiga tahun, jangka waktu daluwarsanya adalah dua belas tahun.
(-) Untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, jangka waktu daluwarsanya delapan belas tahun.
Bagaimana jangka waktu daluwarsa suatu perkara dihitung? Pada prinsipnya daluwarsanya suatu perkara dimulai satu hari setelah tindak pidana dilakukan, kecuali untuk tindak pidana pemalsuan uang dan tindak pidana perampasan kemerdekaan.
(-) Untuk tindak pidana pemalsuan uang, jangka waktu daluwarsa tidak dihitung satu hari setelah tindak pidana pemalsuan uang dilakukan, melainkan satu hari setelah uang palsu itu beredar. Sedangkan
(-) Untuk tindak pidana perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP) jangka waktu daluwarsa dihitung satu hari setelah orang itu (yang ditahan/dirampas kemerdekaannya) dibebaskan.
Mengapa daluwarsa suatu keadaan itu sangat penting? Dengan adanya lewat waktu, ingatan masyarakat terhadap tindak pidana tertentu telah hilang, dengan adanya lewat waktu ada kemungkinan menghilangnya alat bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu, dan juga untuk memberikan kepastian hukum bagi Tersangka (Pasal 80 KUHP).
Jangka daluwarsa bisa dihentikan, oleh karena si pelaku mengetahui bahwa perbuatannya sedang dituntut, atau oleh pejabat yang berwenang memberi tahu si pelaku bahwa perbuatannya hendak dituntut. Dengan begitu jangka daluwarsa dimulai dengan jangka waktu baru. Jangka waktu daluwarsa juga dapat ditunda, oleh karena adanya suatu masalah hukum yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Dengan adanya penundaan jangka waktu daluwarsa,
maka jangka waktu daluwarsa yang telah berjalan masih tetap diperhitungkan.
Dalam Hukum Daluwarsa dilaksanakan Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut. Di dalam Hukum Pidana, dikenal adanya keadaan "hapusnya" kewenangan
melakukan proses pidana dan penuntutan pidana bagi para penegak hukum (verval
van het recht tot strafvordering en van de straf).
Salah satu alasan untuk hapusnya kewenangan penegak hukum untuk memproses pidana seseorang adalah yang dikenal dengan istilah: daluwarsa (baca:
"Hukum Pidana: karya pakar hukum pidana terkemuka Jan Remmelink).
Dalam bahasa Belanda: Daluwarsa disebut "Verjaring", atau verjaring stermijn (jatuh tempo). Dan daluwarsa ini diberlakukan baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pidana.
Dalam Hukum Pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak hukum memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu. Di dalam kawasan Mahkamah Konstitusi pun, lembaga "daluwarsa" itu digunakan. Contohnya ketika Mahkamah Konstitusi menolak suatu gugatan judicial review karena dianggap sudah daluwarsa.
Menurut Prof MR A Pitlo (dalam bukunya: Bewijs en Verjaring naar her Netherlands Burgelijk Wetboek) landasan filsafat hukumnya, mengapa ada lembaga daluwarsa dalam hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana adalah antara lain: "Hukum pada hakikatnya bersifat menyesuaikan diri untuk menerima keadaan yang ada. Setelah jangka waktu yang lama, hukum menyingkir terhadap suatu keadaan yang nyata, yang tidak dipersoalkan selama tenggang-waktu tertentu; tidak peduli apakah tidak dipersoalkannya karena tindak pidana tersebut belum diketahui hingga lewat waktu tertentu, ataupun karena tidak ada yang mengadukan dugaan terjadinya tindak pidana hingga lewatnya waktu tertentu.
Di dalam Hukum Pidana Indonesia, ketentuan tentang daluwarsa ditentukan dalam pasal 78 KUH Pidana yang bunyinya:
(1) Kewenangan memproses pidana hapus karena daluwarsa;
1.Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah
satu tahun;
2.Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, daluwarsanya setelah enam tahun.
3.Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, daluwarsanya setelah dua belas tahun.
4.Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, daluwarsanya setelah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang waktu untuk daluwarsa di atas, dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 78 KUH Pidana itu diperkuat oleh yurisprudensi (putusan HR 3 Februari 1936) yang inti putusannya yakni: Wewenang memproses pidana adalah wewenang negara untuk bertindak terhadap pelaku secara pidana, tanpa peduli alat negara manakah yang melakukannya. Begitu suatu tenggang waktu menurut undang-undang berlaku, maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak
dapat lagi melakukan proses hukum.
Kapan mulai terhitungnya tenggang waktu untuk daluwarsanya suatu tindak pidana? Menurut pasal 79 KUH Pidana, terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan. Kecuali untuk tindak pidana pemalsuan mata uang, dan untuk tindak pidana yang secara tegas (tidak boleh dianalogikan) dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333, serta untuk pelanggaran pasal 556 KUH Pidana. Dengan kata lain, kecuali ketiga jenis tindak pidana yang dikecualikan itu,
maka semua tindak pidana, berlaku ketentuan daluwarsa Pasal 78 dan awal pasal 79 bahwa daluwarsa terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan.
contohnya, jika tindak pidana pembunuhan (pasal 338 kalau pembunuhan biasa dan pasal 340 kalau pembunuhan berencana, terhitung satu hari setelah pelaku membunuh, demikian juga contohnya; kalau tindak pidana pemalsuan surat, misalnya pemalsuan ijazah, maka terhitung sejak satu hari setelah ijazah palsu (yang ditentukan pasal 263 KUH Pidana) yang isinya:
(1)Setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika penggunaannya tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan ancaman pidana paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dengan demikian, jika tindak pidananya pemerkosaan, perhitungan daluwarsa dihitung sejak saat pemerkosaan (pasal 285 KUH Pidana) dilakukan pelaku; kalau mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUH Pidana), maka terhitung sejak pelaku melakukan pencurian itu.
Demikian juga untuk tindak pidana pemalsuan surat, termasuk ijazah tentunya (pasal 263 KUH Pidana), perhitungan daluwarsa terhitung sejak ijazah palsu itu mulai dibuat; bukan sejak ijazah palsu itu mulai digunakan. Jadi contohnya dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, ijazah palsunya dibuat pada tahun 1990, maka daluwarsa jatuh pada 1990 tambah 12 (dua belas tahun) menjadi 2002. Artinya sejak tahun 2002, kasus tersebut tidak berwenang lagi diproses oleh penegak hukum.
Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut.
Apa konsekuensinya jika setelah daluwarsa, penegak hukum tetap memproses perkara itu dan tidak segera menghentikannya?
Konsekuensi pertama, berarti penegak hukumnya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi kedua, penegak hukum dapat diadukan telah melakukan pelanggaran HAM tersangka, yang demi hukum, berhak diterapkannya ketentuan mengenai daluwarsa terhadap dirinya.
Ketentuan tentang daluwarsa ini memang jarang diketahui oleh masyarakat awam hukum maupun sebagian kalangan hukum, dan oleh karena itu menjadi kewajiban untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat luas dan kalangan penegak hukum.
Penegak hukum harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan tanpa di bawah tekanan opini publik, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh James Fenimore Cooper: "It is besetting vice of democracies to substitute public opinion for law. This is the usual form in which masses of men exhibit their tyranny. Artinya merupakan kepungan sifat buruk (euforia yang kebablasan) tentang demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik (atau tekanan demo massa yang sifatnya politis). Ini adalah wujud yang umum, di mana orang
menunjukkan tirani pemaksaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar